Rumah Dinas Rumah Pemerintah

Rumah dinas rumah pemerintah
Dan akhirnya kami pun keluar juga
Kenangan indah yang takkan ku lupa
Kecuali bila ku amnesia

Kalimat di atas mungkin bisa menggambarkan perasaanku dan situasi Kompleks Balitsereal yang sekarang ini. Tak pernah terbayangkan oleh kami, kami akhirnya keluar dan pindah dari Kompleks Balitsereal yang sangat kami cintai ini. Kami adalah warga pensiunan/purnabakti pegawai Balitsereal yang (dulu) masih tinggal dan menempati rumah dinas di kompleks. Sebuah cara pindah yang rasanya tidak rasional. Dikarenakan masih banyak rumah yang tinggal kosong dan tak berpenghuni, tapi malah kami diperintahkan untuk keluar dari kompleks. Parahnya lagi serasa kesan yang ada kami seperti “diusir” karena sampai dibuatkan surat perjanjian dan harus bertanda tangan yang isinya pensiunan beserta keluarganya harus mengosongkan rumah, pindah dan tidak menempatinya (lagi) paling lambat akhir tahun 2011.

Tadinya saya pikir kalau surat tadi hanyalah berupa surat himbauan biasa dari pusat, seperti surat-surat himbauan yang terdahulu. Setelah saya melihat banyak dari kami yang memang bersiap-siap untuk pindah karena mereka sudah mulai membangun dan memperbaiki rumah pribadinya yang ada di luar, barulah saya sadar bahwa surat kali ini adalah surat yang bukan seperti biasanya, situasi kali benar-benar serius. Bahkan ada beberapa dari kami sudah lebih dahulu pindah sebelum akhir tahun 2011, dan adapula warga yang belum pensiun tapi lebih memilih untuk pindah. Saya tidak tahu pasti alasan mengapa kami harus pindah dari kompleks ini? Setahu saya, kami masih diperbolehkan tinggal asalkan rumahnya dirawat. Dan memang kenyataannya rumah dinas itu kami rawat. Pernah saya bertanya kepada kepala balai (sekarang sudah diganti) alasan pengosongan rumah dinas, dan jawabannya adalah karena alasan remunerasi. Sebuah alasan yang rasanya tidak masuk akal atau mungkin saya yang bodoh karena tidak bisa masuk di akalku, toh kalau memang karena alasan remunerasi mengapa rumah-rumah yang kosong masih banyak yang belum ditempati? Saya juga sudah beberapa kali bertanya kepada bapakku mengenai alasan pengosongan rumah dinas, tapi beliau menjawab dengan santai “karena memang harus dikosongkan”. Tampaknya bapakku seolah tidak mau terlalu ambil pusing, ataupun mungkin pasrah dan menerima kenyataan ini. Seperti orang tua yang lainnya di kompleks ini. Sangat berbeda dengan saya yang selalu mau melawan dan selalu mau banyak tahu tentang alasan pengosongan rumah dinas.

Menjadi Provokator

Sampai akhirnya saya pun bertanya di grup facebook Balitsereal. Lagi-lagi mendapat jawaban yang tidak memuaskan bahkan ada beberapa jawaban yang sangat menjengkelkan dari beberapa anggota grup. Mereka berkomentar miring dengan merasa hebatnya, pintarnya, jabatannya, pekerjaannya, dan pendidikannya tapi sayang komentarnya tidak memakai otak dan hati dan dengan enaknya dan tega mengatakan bahwa kami ini mencuri, tidak tahu malu, dan ngontrak di rumah dinas. Tidak etis rasanya kalau kami yang pensiunan ini dikatakan mencuri, tidak tahu malu, ataupun ngontrak di rumah dinas. Apalagi yang mengatakan itu tadi adalah sesama warga kompleks beserta mantan warganya. Padahal sebenarnya pertanyaanku di grup itu tentang alasan pengosongan rumah dinas dan saya hanya mencari jawaban dari pertanyaan yang bahkan tidak ku dapatkan dari kepala balai (yang sekarang sudah diganti), bukan meminta pendapat ataupun persepsi tentang kami warga pensiunan. Apa pasal dan hak mereka berkomentar miring sampai memvonis dan menghakimi kami seperti itu? Atau bisa jadi juga mereka hanyalah orang-orang yang kurang merasakan atau bahkan tidak pernah merasakan rasa kebersamaan di kompleks. Kasihannya.

Debat pun terjadi sesama anggota dan warga di grup facebook Balitsereal. Ada yang pro dan kontra dengan pengosongan rumah dinas di kompleks. Banyak dari kami yang kontra, tapi lebih banyak lagi yang memilih berdiam diri dan tidak berkomentar. Perdebatan pun berlanjut sampai beberapa komentar. Tapi sayangnya pihak admin grup menghapus postingan itu. Kecewa pasti karena postingan itu dihapus, tapi saya berusaha berpikiran positif saja dengan mengatakan dalam hati sendiri “mungkin dihapus demi kebaikan bersama”. Tapi tetap saja menurutku sebaiknya pihak admin grup tidak usah menghapus postingan tadi, biarlah yang membacanya bisa tahu dan menyimpulkan sendiri siapa orang yang memang pro dan kontra di kompleks, biarlah mereka tahu siapa sebenarnya “musuh dalam selimut” di kompleks ini, yang seolah-olah bersikap baik di depan tapi menusuk kami dari belakang. Beberapa pertanyaan itu adalah: Apa alasan pengosongan rumah dinas? Bagaimana jika sudah ditinggalkan tapi akhirnya menjadi rusak dan tidak terawat karena tidak ada warga baru yang menempatinya? Sudahkah peraturan itu diterapkan di sesama warga pensiunan dalam lingkup litbang pertanian ataukah hanya tegas di Balitsereal saja? Mengapa baru kali ini peraturan itu terasa tegas akhir-akhir ini saja dan sebelumnya tidak begitu? Adakah cara agar kami masih bisa tinggal di kompleks seperti tahun-tahun sebelumnya? Akibat pertanyaan di grup itu bisa jadi ada yang menganggap saya adalah provokator di grup dan di kompleks. Terserah.

Karena tidak pernah mendapatkan jawaban yang rasional dan memuaskan lalu secara spontan pikiranku beranggapan bahwa kalau keputusan dan peraturan itu hanya dibuat-buat dan hanya akal-akalan belaka, seperti ada maksud tertentu di balik “pengusiran” itu. Bagaimana mungkin pihak yang membuat keputusan dan peraturan bisa membuatnya padahal diri mereka pun belum tentu “bersih” dari tindak KKN? Hemat saya, kalau ingin membuat keputusan dan peraturan, buatlah dengan adil dan dengan bercermin kepada diri sendiri. Ibarat sebuah sapu, maksud hati ingin membersihkan tapi sapu itu sendiri masih kotor.

Memang kami sadar dan tahu pasti bahwa rumah dinas itu bukan lagi hak kami, dan kami tidak punya hak (lagi) untuk menempatinya. Tapi persoalan yang sebenarnya ialah bukan terletak pada rumah dinas itu, tapi sejarah dan kenangannya. Toh kami juga punya rumah pribadi kok di luar sana. Di sini kami lahir, kecil, tumbuh besar  bahkan ada yang sampai meninggal di kompleks ini. Kami sudah seperti saudara dan keluarga besar. Kalian senang kami pun senang, kalian sedih kami pun sedih. Sangat berbeda dengan suasana dan pergaulan di kota ataupun di kompleks lainnya. Kami selalu terbuka dengan orang dari luar kompleks. Bahkan saking terbukanya kami, orang dari luar kompleks pun senang untuk datang bergaul dengan kami, mereka senang dengan suasana kekeluargaan kompleks. Mereka (orang luar tadi) bahkan merasa sedih dan serasa mau menangis melihat keadaan kompleks yang sekarang ini, karena teman dan sahabat mereka telah banyak yang pindah dan pergi, sepi, ditinggal kosong, rusak dan tak berpenghuni. Bisa dibayangkan betapa lebih sedihnya kami.

Hak Kami Tapi Bukan Hak Kami

Sebenarnya rumah dinas di kompleks itu dulunya bisa kami miliki tapi karena peraturan tentang rumah dinas kini sudah berubah, makanya tidak bisa dimiliki (lagi). Hak yang sebetulnya sudah menjadi hak kami, tapi karena satu dan lain hal, akhirnya tidak menjadi hak kami (lagi). Buktinya perumahan dinas yang lain bisa didem dan dimiliki. Ini namanya memotong rejeki orang.  Jadi masih pantaskah mereka yang berkomentar miring tadi memvonis dan menghakimi kami?

Mungkin kami terkesan egois karena masih mau menempati rumah dinas, merasa egois karena tidak memberikan kesempatan kepada pegawai-pegawai baru untuk menempatinya. Kami sadar itu semua, justru karena itu lah salah satu alasan kami rela pindah dan meninggalkan banyak kenangan di kompleks. Tapi saya rasa alasan itu buka alasan kuat yang membuat kami rela untuk pindah. Toh masih banyak rumah yang tinggal kosong, terbengkalai dan rusak, masih banyak pegawai baru yang tidak menempati rumah dinas, cuma sekedar mengambil tapi jarang tinggal dan menempatinya, hanya sekali-kali saja datang.

Saya jadi teringat dengan teman kompleks yang mengatakan “rasa memiliki kami terhadap Balitsereal tercoreng sama orang yang tidak memiliki empati terhadap orang lain yang lebih lemah”. Adapula yang beranggapan sudah capek dikejar-kejar, bahkan ada dari kami merasa sudah diusir seperti binatang saja. Yah begitulah setiap dari kami, berbeda persepsi tentang pengosongan rumah dinas.

Menjadi Kompleks Mesum

Setelah kepergian kami, kompleks itu sekarang seperti kompleks mati, bak hutan belantara, rumput dan pohon tumbuh tinggi dengan sendirinya. Hehe emang ada program penghijauan ya pak bos? Rumah rusak dan perlahan mulai hancur digerogoti rayap dan kayunya mulai lapuk diterpa hujan dan air hujan dari atap yang bocor, situasi sudah mulai tidak aman dan nyaman, banyak orang lain yang masuk di rumah kosong yang saya tak tahu tujuannya apa, semakin sering saja kedapatan orang yang berniat mencuri bahkan malah sudah ada rumah yang kecurian. Diperparah lagi karena rumah-rumah yang kosong terutama rumah di bagian depan kompleks selalu dijadikan tempat pacaran, tempat mesum dan bercumbu ria oleh orang dari luar. Dulu sudah beberapa kali saya memergoki dan menegur, bahkan sampai memarahi mereka (orang yang kedapatan mesum dan pacaran). Bahkan terkadang emosiku naik sampai rasanya ingin mukul saja. Tapi jujur sekarang saya sudah tidak mau ambil pusing (lagi), kalau saya mendapat orang yang pacaran dan berniat mesum (lagi), saya cuma lewat dan membiarkannya. Toh kami juga sudah tidak dianggap (lagi) di kompleks itu, buat apa juga saya mau repot-repot dan ambil pusing dengan masalah kompleks? Itu bukan tugas dan kewenanganku karena sebenarnya masih ada orang yang semestinya lebih pusing dan lebih berwenang dengan keadaan kompleks daripada saya, itupun belum tentu yang mestinya berwenang itu mau ambil pusing. Jadi buat apa juga saya mesti repot-repot?

Kompleks yang dulunya dibanggakan, aman, tenteram, nyaman, alim dan terpelajar, banyak menghasilkan generasi yang berprestasi dan terpelajar itu sekarang menjadi rusak, hancur, tidak aman dan jadi tempat mesum. Mungkin ini yang mereka cari, mungkin pula ini adalah alasan para pembuat keputusan dan peraturan yang “mengusir” kami. Saya sengaja menyebut mereka (para pembuat keputusan dan peraturan) dan tidak mau menyebut mereka dengan sebutan “para pembuat kebijakan” karena sama sekali hal yang mereka buat bukan perbuatan yang bijak. Hehe orang bijak taat pajak coy.

Entah bagaimana perasaanku semenjak perubahan di kompleks, semenjak banyak yang pindah (termasuk saya) hidupku terasa jadi lebih susah, sepi, sedih, sunyi, kecewa, gembira, marah dan lain sebagainya bergabung menjadi satu, bohong rasanya kalau saya tidak pernah menangis dan meneteskan air mata karena keadaan ini. Terlalu banyak kenangan di sana, kehangatan, keakraban, persaudaraan, dan rasa kebersamaan kami, dan semua itu mungkin rasanya tidak bisa ku ceritakan. Tapi biarlah kami menjalin keakraban dan rasa persaudaraan ini di tempat lain. Jujur kalau kecewa pasti ada, tapi kalau sakit hati mungkin juga iya jikalau memang “pengusiran”, keputusan dan peraturan yang dibuat itu karena alasan tertentu yang dibuat-buat atau karena alasan “ada udang di balik batu”. Tapi rasanya saya pribadi justru seharusnya jauh lebih bersyukur karena pernah tinggal dan merasakan rasa persaudaraan dan kebersamaan di kompleks itu. Akhirnya saya cuma bisa berkata “merelakan bukan berarti menyerah tapi lebih kepada menyadari dan menerima bahwa ada hal-hal yang tak bisa dipaksakan”.

0 comments:

Posting Komentar