Badik Dalam Filosofi Kebudayaan Bugis Makassar

badik
Badik bukanlah istilah asing bagi sebagian masyarakat Sulawesi Selatan, badik juga bukan hanya sebagai senjata tradisonal semata. Sebab badik tidak hanya sekedar menjadi penanda identitas yang lahir dari warisan kultural masyarakat, melainkan juga kadang difungsikan sebagai alat kekerasan dengan jalan melukai dan menghabisi nyawa manusia. Meski demikian, badik juga terkadang sebagai landasan filosofi hidup serta menjadi penopang harga diri (siri’) yang melekat pada diri setiap orang. Siri’ sendiri adalah merupakan puncak tertinggi dari nilai kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan yang senantiasa harus dijaga dan diperjuangkan. Karena hanya dengan siri’ lah eksistensi diri sebagai manusia akan ditemukan. Sehingga tidaklah mengherankan jika mayoritas dari masyarakat Bugis-Makassar rela bersimbah darah dan bahkan tidak gentar dengan kematian demi menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Dalam perspektif lain, badik juga sering dimaknai sebagai ikon kebudayaan sekaligus menjadi penanda identitas keberanian serta prinsip hidup seseorang. Oleh karenanya, mereka yang bepergian atau merantau pada masa lampau tanpa dibarengi dengan sebilah badik, maka sama halnya ia bepergian tanpa prinsip. Karena badik adalah bagian akhir dari sadaran “keselamatan hidup” saat berada di negeri rantau.

Dalam konteks ini, badik  telah menjadi bagian dari filsosofi hidup yang tidak bisa dipisahkan ruang kehidupan sosio-kultural masyarakat Bugis-Makassar. Filosofi hidup tersebut dikenal dengan istilah Tellu Cappa’ yang berarti 3 ujung, yang senantiasa difungsikan jika ingin selamat di negeri rantau. Tellu Cappa’ yaitu:

1. Ujung lidah sebagai, sebagai alat komunkasi dengan tutur kata yaang jujur dan sopan.

2. Ujung kelamin, difungsikan untuk mengawini penduduk setempat (pribumi) sebagai bentuk pelanggengan hubungan kekerabatan dan kekeluargaan, serta menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat.

3. Ujung badik, badik yang menjadi jalan terakhir ketika segala persoalan yang dihadapi tidak bisa lagi diselesaikan dengan tutur kata yang santun, bijak dan penuh kekeluargaan.

Dari ketiga filosofi tersebut, kita dapat melihat posisi badik berada di bagian akhir. Ini menandakan bahwasanya badik menjadi penopang hidup akhir dari episode kehidupan ketika sebuah persoalan tidak mampu lagi diselesaikan dengan jalan bijak dan beradab. Atau dengan kata lain, badik bisa dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap kejahatan dan pelindung moral atau idealisme yang melekat pada diri setiap orang, serta menjadi sandaran hidup dalam upaya mempertahankan eksistensi diri sebagai manusia.

Badik tidak hanya sekedar menjadi kata, tapi sudah menjadi istilah kultural bagi sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan. Orang yang berbudaya badik akan malu berbuat kejahatan, melawan kejahatan (lempu) serta malu jika tidak sanggup menegakkan keadilan demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan (pacce’) di antara sesama, khususnya dalam melindungi orang-orang yang teraniaya.

Oleh karenanya, fungsi badik adalah untuk menjaga harga diri dengan memperjuangkan lempu/pacce’ melalui sikap, tutur kata dan tindakan nyata yang lebih bermoral dan beradab. Badik dicabut dengan tujuan untuk membela kebenaran dan sekaligus menikam kejahatan yang melekat pada penjahat. Matinya penjahat bukanlah tujuan, melainkan sebuah akibat, karena sesungguhnya kejahatanlah yang menjadi tujuan akhir dari tikaman badik tersebut.

Eksistensi badik digambarkan bukan lagi ibarat sesuatu yang kedengarannya sangar di telinga, melainkan lebih kepada upaya yang sangat manusiawi, di mana badik dilihat sebagai simbol ketegasan dan keberanian untuk melawan kezaliman serta dampak buruk yang ditimbulkan oleh kezaliman tersebut. Prinsip hidup inilah yang sebenarnya harus mampu dipahami dan dibumikan dalam relasi kehidupan sosial manusia Bugis-Makassar di manapun ia berada, sehingga dengan demikian akan tercipta pola hidup yang humanis, penuh khidmat dan keadlian.

Demikian juga, badik sebagai istilah yang boleh dikatakan klasik dalam kamus kehidupan masyarakat Bugis-Makassar yang hadir dalam ruang dan zaman yang berbeda dengan masanya. Maka sejatinya harus mampu dimaknai ulang, di mana istilah badik tidak lagi menjadi inspirasi dari praktek kekerasan, melainkan menjadi prinsip hidup dalam upaya membangun kehidupan yang lebih manusiawi.